Pengalaman-ku
Saat Kelas 8
Ketika Aku
menduduki bangku kelas 8 di sebuah sekolah menengah pertama di Indralaya, Aku mendapat pengalaman yang
menyenangkan walaupun pengalaman itu berpadu dengan pengalaman yang
menyedihkan. Di semester 3 masa-masa putih biru ini Aku banyak bergaul dengan
teman-teman yang gokil dan menyenangkan, sebagian besar waktu-ku di kelas 8 ini
aku habiskan untuk dunia persepak-bolaan. Dimana pada suatu waktu aku merasakan
arti kekompakan, kebersamaan, dan persahabatan. Disitu aku juga melihat
kecurangan dan kepengurusan yang tidak mementingkan keadilan, mereka hanya
berdiam diri saja ketika melihat kecurangan yang terjadi. Apakah orang seperti
mereka pantas digaji? Apakah semua orang Indonesia bersikap seperti itu? menurutku,
jawabannya adalah “TIDAK”, masih banyak orang jujur yg mementingkan keadilan
daripada orang yang menduduki kursi kepengurusan demi uang semata.
Disaat aku pertama kali masuk bersama teman-teman dan
wali kelas kami yang baru di kelas 8.6 kami memperkenalkan diri kami
satu-persatu, setelah kami memperkenalkan diri, kami mulai beradaptasi dengan
wali kelas kami yang baru, wali kelas kami bernama Evi Noprida, kami biasa
menmanggilnya dengan panggilan “Ibu Evi”. Lalu pada waktu bel istirahat berbunyi,
Ibu Evi pun kembali ke ruang guru dan kami pun pergi ke kantin sekolah ramai-ramai.
Setelah selesai membeli makanan dan minuman di kantin sekolah, kami pun kembali
ke kelas untuk memakan makanan dan minuman yang telah kami beli di kantin tadi.
Secara tidak langsung kami beradaptasi dengan sendirinya. Pada keesokan harinya
kami kembali ke sekolah untuk menyusun perangkat kelas. Perangkat kelas
biasanya dipilih dengan cara divoting. Tapi pada saat itu, Ibu Evi langsung
menunjuk orang yang dia percayakan untuk menjadi ketua kelas, wakil ketua, sekretaris,
dan bendahara. Dengan melihat wajah murid di kelas 8.6, Ibu Evi itu pun
langsung menunjukku untuk menjadi ketua kelas di kelas itu. Aku sangat terkejut
ketika Ibu Evi memilihku untuk menjadi ketua kelas selama 1 tahun di kelas 8.6,
Ibu Evi menunjuk teman-ku yang bernama Tri Bintang Utama (panggil saja “Bintang”)
untuk menjadi wakilku selama 1 tahun di kelas 8.6, Amelia Ramadhani (Amel) ditunjuk
Ibu Evi menjadi sekretaris. Dan yang terakhir, Ibu Evi menunjuk Adelia Jesika (Adel)
sebagai bendahara pada saat itu. Sebenarnya aku kurang yakin dengan jabatanku
pada saat itu, tetapi aku berhasil belajar banyak dari mantan ketua kelas 7.2
atau wakil ketua kelas 8.6 yang biasa dipanggil Bintang tadi. Singkat cerita,
aku bisa dikatakan berhasil menjabat sebagai ketua kelas selama 2 semester di
kelas 8.6 berkat bantuan Bintang dan dukungan dari teman-teman yang lain. Di
kelas 8, aku mengikuti ekstrakulikuler sepakbola bersama sahabat-sahabatku yang
setia berteman denganku selama 1 tahun di kelas 7, pada Februari 2015 diadakan
seleksi pemain untuk mewakili sekolah mengikuti turnamen LPI. Jika
diingat-ingat diturnamen LPI 2014, aku terpilih sebagai salah satu winger di
squad Spensa FC pada kelas 7. Tetapi saat kelas 7, kami
tidak berhasil menembus tingkat kabupaten, karena kalah dengan rival kami di
pertandingan final tingkat kecamatan dengan skor yang cukup telak 7-3. Anggap saja
itu sebagai pengalaman untuk menjadi lebih baik pada turnamen LPI 2015.
Pada pengumuman pemain yang diikut sertakan dalam
squad LPI 2015 ternyata nama-ku kembali masuk ke dalam squad pilihan pelatih
bersama sahabat-sahabatku yang pada tahun 2014 tidak terpilih dalam squad Spensa
FC yang akan mewakili SMP-ku mengikuti turnamen LPI. Pada turnamen LPI
2015, aku menggeser posisiku dari winger menjadi posisi striker. Pada laga
ujicoba aku selalu dimainkan pelatih di posisi striker dan disetiap laga, aku
selalu mencetak gol, paling sedikit aku mencetak 1 gol di setiap laga. Ketika
turnamen LPI tingkat kecamatan digulirkan, pihak sekolah kami tidak memberi
dana makan dan ongkos untuk pergi ke lapangan pertandingan padahal dana yang diberikan
pemerintah daerah setempat kepada pihak sekolah lebih dari cukup untuk membeli
makan 17 orang di squad kami, membeli 3 kostum baru, dan ongkos pulang-pergi ke
lapangan pertandingan. Terpaksa kami memakai kostum LPI tahun lalu yang
berdesain klasik dan longgar bagaikan kostum dengan satu ukuran yang sama untuk
ke-17 orang yang terpilih kedalam squad Spensa FC. Dengan berat hati juga kami
harus membayar ongkos per-orangan dan membeli makan dengan uang yang diberikan
orang tua kepada kami. Pada turnamen LPI tingkat kecamatan, ada 4 sekolah yang
mendaftar untuk mengikuti persaingan demi mewakili kecamatan Indralaya Induk
termasuk sekolah kami. Pada pertandingan pertama, kami dipertemukan kembali
dengan rival berat yang telah membantai kami pada tahun 2014, SMPIT RU. Pada saat itu, dendamku mulai membara, semangatku berkobar, dan nafsu
gol-ku langsung naik drastis. Walaupun pada saat itu, bek dari SMPIT RU
tergolong memiliki postur badan yang besar, tetapi aku tetap berusaha percaya
diri dengan kemampuanku mengolah si kulit bundar itu. Tak disangka, gol pertama
pada pertandingan ini dicetak oleh diriku sendiri pada menit 20, dengan sangat
bangga aku merayakan gol ini dengan selebrasi sujud syukur. Tak lama kemudian
SMPIT RU menyamakan kedudukan melalui Playmaker yang dimiliki tim mereka, pada detik-detik
akhir menit babak pertama, SMP IT membalikkan keunggulan menjadi 2-1. Pada istirahat
halftime, kami diberikan instruksi oleh pelatih dan kembali memasukki lapangan
untuk memulai babak ke-2. Jual beli serangan pun terjadi pada pertandingan ini,
sampai pada menit 79, aku kembali menyamakan skor menjadi 2-2 dan kedudukan itu
pun tetap bertahan hingga pluit panjang dibunyikan. Kedua tim dari kubu SMPIT
dan kubu kami harus puas berbagi masing-masing 1 poin. Di pertandingan kedua,
melawan SMP Rambang Kuang kami
memenangkan pertandingan dengan skor telak 8-0. Di pertandingan melawan Rambang
Kuang, Aku kembali menyumbang gol kemenangan dari Spensa FC. Dan dipertandingan
lain, SMPIT berhasil memenangkan pertandingan melawan SMP Tanjung Agung dengan
skor yang cukup banyak, 7-3. Dipertandingan terakhir kami, tim kami
dipertemukan dengan SMP Tanjung Agung, pada babak pertama, kami ditahan imbang Tanjung
Agung dengan skor 2-2, dan pada babak kedua Aku mulai menguras habis semua
tenaga demi kemenangan dari Spensa FC, alhasil aku berhasil mencetak 3 gol dan
merubah skor menjadi 5-2, lalu teman-temanku berhasil menambah 2 gol lain yang
menambah skor menjadi 7-2. Pada pertandingan terakhir SMPIT, poin yang mereka
kumpulkan hanya tertinggal 3 poin dan jika mereka menang dengan skor yang lebih
banyak maka mereka akan mewakili kecamatan untuk mengikuti turnamen LPI tingkat
kabupaten, di partai terakhir mereka dipertemukan musuh yang dikatakan sebagai “tim
terlemah” pada saat kompetisi itu yang pada pertandingan kedua kami bantai
dengan skor telak 8-0. Disaat itu, kami hanya duduk manis sebagai penonton dan
berdoa agar Rambang Kuang dapat menahan imbang SMP IT, tak disangka, kiper dan
bek dari Rambang Kuang bermain sangat baik dengan menyelamatkan 2 tendangan
pinalti yang ditendang oleh sang kapten dari SMPIT. Babak pertama pun diakhiri
dengan skor kacamata, disaat itu, seluruh squad kami ramai-ramai mendukung
Rambang Kuang agar lebih semangat untuk melawan tim dari SMPIT itu. Waktu terus
berjalan, kami terus mendukung Rambang Kuang dan alhasil babak kedua pun masih
bertahan dengan skor 0-0. Kami pun merayakan kemenangan kami yang sudah lama
tidak terulang kembali. Kami berpesta dilapangan itu, mungkin orang yang tidak
pernah bermain bola dan mengikuti turnamen seperti ini tidak pernah merasakan
kebahagiaan setelah menguras habis stamina diatas lapangan hijau. Karena kami
berhasil memenangkan pertandingan ini, kami menjadi wakil kecamatan untuk
mewakili kecamatan Indralaya Induk berlaga di Tanjung Senai (nama daerah yang
dilaksanakannya pertandingan LPI tingkat Kabupaten).
Dikala kami memasukki tingkat kabupaten, pihak sekolah
kembali diberi dana yang terbilang cukup banyak, tetapi kami tetap tidak diberi
kostum, makan, dan uang ongkos pulang-pergi. Abaikan saja masalah keuangan yang
dipegang pihak sekolah yang tidak mementingkan untuk memberi motivasi kepada
para pemain yang telah berjuang sekuat tenaga untuk memberi yang terbaik untuk
Spensa FC. Pada pertandingan pertama di Tanjung Senai kami memenangkan
pertandingan dengan skor 3-0, 1 gol diantaranya dicetak oleh kakiku sendiri. Kemudian
di pertandingan kedua kami memenangkan pertandingan dengan skor 2-0,
dipertandingan ini Aku mencetak 1 gol dan 1 assist. Di pertandingan ketiga
(semifinal), diadakan pertukaran ijazah tim Spensa FC dan tim dari SMP Tulung Agung.
Ada dua pemain mencurigakan, dimana satu pemain yang berpostur layaknya anak
SMA, dan satu lagi, ada satu pemain lain yang memakai ijazah dengan foto yg
sama sekali tidak mirip dengan wajah asli pemain itu, diperaturan LPI, seharusnya
jika ada salah satu pemain melebihi batas umur ataupun memakai data palsu maka
tim itu harus didiskualifikasi, tetapi panitia kompetisi itu hanya diam saja
dan membiarkan mereka bermain melawan kami, pada waktu itu, posisiku sebagai
striker digeser ke winger karena pemain yang baru masuk squad Spensa FC di
tingkat kabupaten. Semangat bermainku pun mulai melemah karena bek musuh bagaikan
mempunyai stamina yang tiada habis-habisnya. Keadaan mental pemain di tim kami
melemah karena insiden tadi (panitia tidak melakukan tindakan terhadap tim
lawan). Alhasil pertandingan selesai dengan skor telak 4-0. Disaat wasit
membunyikan pluit panjang, jantungku serasa ada yang menusuk hingga airmataku
keluar menetes dengan sendirinya. Terbaring lemah diriku ditengah lapangan
hijau, bagaikan usaha yang telah kami perjuangkan selama itu hanya sia-sia saja.
Semua raut wajah yang biasa terlihat bahagia kini menjadi wajah yang sedih dan
berlinang air mata. Kami gagal membanggakan nama SMP yang aku duduki saat itu dan kami gagal melanjutkan perjuangan ke tingkat provinsi. Tapi lama-kelamaan rasa sedih
itupun mulai menghilang karena berjalannya waktu, kami dapat belajar
kebersamaan dari kompetisi ini, walaupun banyak kesedihan yang diberikan kepada
kami.
Seandainya kami menang LPI tingkat kabupaten, kami
akan melanjutkan perjuangan itu, dan Aku pun takkan pindah ke sekolah yang saat
ini aku duduki, SMPN 16 Bandung. Tapi takdir berkata lain, anggap saja ini adalah
pengalaman agar menjadi lebih baik untuk masa mendatang. Karena ini Aku juga
bisa tahu, betapa egoisnya para pemegang jabatan yang mementingkan kepentingan
sendiri. Aku berharap sifat orang yang seperti itu tidak ada di Kota Bandung tercinta
ini.
Karya : Dzaki Mahadika